Jumat, 21 Januari 2011

batik

KRIS RAZIANTO MADA
Hampir 20 tahun lalu, Uswatun Hasanah (41) nyaris tidak bisa menemukan pembatik dan penenun gedog di kampung halamannya di Desa Kedung Rejo, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Perempuan yang berasal dari keturunan pembatik dan penenun itu berusaha hampir 10 tahun menggalakkan lagi pembuatan batik dan tenun.
Jerih payah Uswatun mendapat pengakuan dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan, pemerintah pun memberikan anugerah tertinggi bidang industri, Upakarti 2010, untuk kategori pelestari. ”Waktu penilaian Upakarti, saya sampaikan kepada juri-juri yang profesor. Saya cuma sekolah sampai kelas V SD. Saya ini sebenarnya tidak bisa apa-apa,” ujar Uswatun merendah.
Meski mengaku tidak bisa apa-apa, karyanya luar biasa. Ibu satu anak itu menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membangkitkan kembali industri batik dan tenun gedog di kampung halamannya. Niatnya tidak hanya terhenti di kata-kata. Sejak tahun 1990 hingga 1993, dia belajar membatik. Sebab, di desanya sudah tidak bisa ditemukan pembatik yang rutin berproduksi. Dia belajar ke Desa Karang, Kecamatan Semanding, Tuban.
”Dulu saya pernah belajar membatik kepada ibu. Pernah juga belajar memintal kapas untuk tenun kepada almarhum nenek. Karena tidak produksi, saya perlu belajar lagi,” tuturnya.
Setelah menguasai keterampilan membatik, ia lalu menularkan keahlian itu kepada ibu-ibu dan anak-anak putus sekolah di desanya. Untuk itu dia menghabiskan waktu panjang. Sampai tahun 1999, kegiatannya hanya berkutat pada pelatihan karena belum ada pembatik andal.
Mereka yang akhirnya terampil membatik produknya dibeli oleh Uswatun yang mengelola sanggar batik Sekar Ayu. Pelatihan itu masih berlanjut sampai sekarang. Setiap hari masih ada orang belajar membatik di sanggar Sekar Ayu. ”Untuk anak-anak hanya boleh belajar siang sampai sebelum (shalat) asar. Ibu-ibu bebas mau belajar sampai sore,” ujarnya.
Upaya Uswatun membuahkan hasil. Saat ini ada 250 pembatik produktif di Desa Kedung Rejo yang bermitra dengannya. Mereka mengambil bahan dan motif dari Uswatun. Sebagian mengembangkan motif sendiri. ”Saya hanya mengawasi rinci untuk motif pesanan. Untuk yang bukan pesanan, pembatik dibebaskan berkreasi. Saya beli produk mereka agar mereka tidak usah susah-susah memikirkan pemasaran,” ujarnya.
Selain pembatik, penenun di desa itu juga mulai berproduksi lagi. Geliat usaha batik Uswatun dikembangkan dengan
adanya kerja sama dengan 50 perajin di desa itu. Batik dan tenun gedog dari desa itu saat ini sudah menembus pasar Belanda, Australia, dan Jepang. Di dalam negeri, Uswatun bersama 20 pekerja di sanggar dan 300 perajin di desanya kebanjiran pesanan, antara lain, dari Jakarta dan Bali. Setiap bulan omzet bisnisnya mencapai Rp 300 juta. ”Sekitar 70 persen dari pasar dalam negeri yang banyak pesan batik. Kalau hasil tenun banyak yang diekspor,” ujarnya.
Tradisional
Para perajin di Kedung Rejo tidak hanya diajak kembali membangun kejayaan batik dan tenun di desa itu. Mereka juga diajak mempertahankan cara pembuatan yang tradisional. ”Pasar menghargai tinggi produk-produk yang mempertahankan bahan alami dan cara pembuatan tradisional,” tutur Uswatun.
Penenun masih memintal sendiri benang dari kapuk kapas yang disebut benang lawe. Setiap lembar kain tenun dengan lebar 85 sentimeter dan panjang 200 sentimeter butuh sekitar 1,5 kilogram benang lawe. Pembuatan benang sejak dari mengeringkan kapuk kapas sampai memintal perlu lebih dari sepekan. Sementara proses tenun setiap lembar kain rata-rata dua hari. ”Penenunan masih pakai alat tradisional,” ujarnya.
Adapun pewarnaan, Uswatun juga mempertahankan pewarna alami. Biru, warna wajib batik dan tenun Tuban, didapat dari daun yang oleh penduduk setempat disebut tumbuhan indigo. Sedangkan warna coklat bisa memanfaatkan kulit kayu mahoni, tinggi, dan secang jaranan yang mudah didapatkan di sekitar rumah pembatik dan penenun. ”Hampir semua bahan didapat dari alam sekitar sini,” tuturnya.
Memang ada tantangan dengan mempertahankan metode tradisional. Kain tenun hanya dapat diproduksi pada musim kemarau. Selama musim hujan para perajin lebih memilih turun ke sawah. Selain karena musim bagus untuk menanam padi, pada musim hujan mereka kesulitan mengeringkan kapas untuk bahan benang lawe. ”Kapas didapat dari sekitar sini dan dipintal sendiri. Untuk selembar kain tenun, perajin terampil membuatnya rata-rata dalam dua hari atau maksimal 12 lembar per bulan,” ujarnya.
Dengan 50 penenun, Uswatun hanya mendapatkan maksimal 600 lembar tiap bulan. Namun, tidak mudah mendapat jumlah itu karena sebagian besar penenun menganggap menenun hanya pekerjaan sampingan. ”Kalau musim kemarau, saya stok banyak-banyak untuk cadangan pada musim hujan,” tuturnya.
Godaan
Uswatun mendapat banyak godaan dan cobaan. Godaan paling diingatnya adalah tawaran pindah ke Singapura. Tawaran itu datang saat ia pameran di Batam beberapa tahun lalu. ”Saya ditawari mau minta apa saja dan berapa saja agar mau pindah ke Singapura. Saya tidak mau pindah karena nanti batik dan tenun pasti diakui punya sana. Saya susah payah bertahun-tahun supaya batik dan tenun Kedung Rejo dikenal,” ujarnya.
Cobaan lain didapatnya saat peristiwa pengeboman di Bali. Uswatun yang baru mulai mapan memasok ke Bali harus dihadapkan pada kemacetan pembayaran. ”Barang-barang yang sudah telanjur dikirim tak jelas pembayarannya karena pariwisata Bali anjlok,” ujarnya.
Ia cemas karena peristiwa itu memacetkan aliran kas usahanya. Angsuran pinjamannya macet. Kunjungan petugas pembinaan dari lembaga penyalur kredit dihindarinya. ”Saya malu bertemu karena kredit macet. Untung Pak Faf (Faf Adi Samsul, Kepala Divisi Pengelolaan Sosial PT Semen Gresik) tak menyerah memberi pengertian. Saya akan dibantu kalau memang berniat melunasi pinjaman,” tuturnya.
PT Semen Gresik membantu Uswatun membuka jaringan pasar baru. Ia diikutkan dalam berbagai pameran. Kegigihannya juga dijadikan model bagi UKM lain yang dibina PT Semen Gresik. Puncak penghargaan dari perusahaan itu berupa penetapan sebagai juara utama Anugerah UKM Semen Gresik 2010. ”Bu Uswatun contoh wirausaha di desa yang mau bekerja memajukan lingkungannya. Dia bertahun-tahun berkeliling mengajar orang membatik. Semua dilakukan secara sukarela,” ujar Faf Adi Samsul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar